Di balik tren outfit OOTD yang makin beragam, ada peluang bisnis yang diam-diam menggiurkan: bisnis baju thrift. Banyak anak muda sekarang lebih bangga pakai barang second-hand yang unik, dibanding beli mass-produce. Selain lebih ramah kantong dan lingkungan, margin keuntungannya juga nggak main-main.
Cara memulai bisnis baju thrift itu sebenarnya sederhana, tapi eksekusinya perlu strategi. Mulai dari cari stok, proses rework, sampai urusan pengiriman yang kadang bisa bikin pusing sendiri.
Kalau kamu ingin tahu cara memulai usaha thrifting yang menjanjikan, kamu bisa cek panduan lengkapnya di tautan ini.
Dan supaya nggak kewalahan di urusan kirim-mengirim, KiriminAja hadir buat bantu kamu atur logistik — mulai dari pickup, tracking, sampai pencairan COD yang bisa masuk harian.
Pertama, kamu perlu paham: siapa yang bakal beli barang kamu?
Target pasar thrift biasanya anak SMA, mahasiswa, sampai young professional yang suka gaya Y2K, streetwear, atau tampilan old money look.
Platformnya? Instagram, TikTok, dan e-commerce masih jadi ladang emas buat jualan thrift. Tapi yang paling penting, kamu harus bisa ngikutin tren dengan cepat.
Nah ini yang sering jadi tantangan. Stok thrift itu nggak stabil. Kadang dapet “harta karun”, kadang dapet barang yang bahkan buat lap pun mikir dua kali.
Beberapa seller ambil bal-balan dari supplier luar negeri atau importir lokal. Ada juga yang hunting langsung ke pasar loak, bazar, bahkan lelang barang bekas.
Tipsnya:
Kalau stok sudah di tangan, proses seleksi adalah kunci. Karena di bisnis thrifting, reputasi kamu ditentukan dari kualitas barang yang dikirim.
Barang-barang ini harus dicuci dengan teknik khusus, disetrika, bahkan kadang dijahit atau ditambal agar layak jual.
Seller yang serius bahkan melakukan modifikasi kecil, kayak crop, patch, atau distress biar tampil lebih “niche”.
Dan ini yang bikin produk kamu naik kelas.
Nama brand itu penting. Jangan asal pilih. Coba cari nama yang unik, singkat, dan gampang diingat.
Desain logo yang konsisten, tone komunikasi yang khas, dan cara storytelling kamu di sosmed juga harus jelas.
Konten visual jadi senjata utama: flatlay yang estetik, try-on yang jujur, atau video haul yang relatable bisa menaikkan trust.
Kalau kamu sudah punya sistem pengiriman yang stabil dan cepat, ini akan menambah nilai plus di mata pelanggan.
Gunakan KiriminAja untuk mengatur semua kebutuhan pengiriman kamu, dari ekspedisi terdekat hingga pilihan termurah. Bisa atur pickup, tracking real-time, dan pencairan COD harian!
Semakin banyak order, semakin penting kamu punya sistem:
Pilih ekspedisi yang fleksibel, bisa cepat saat butuh buru-buru, atau hemat saat kirim massal. Dan yang paling penting: bisa cairin COD harian, kayak KiriminAja.
Kalau kamu masih bingung “Apa perbedaan logistik dan supply chain?”, gampangnya gini:
Logistik itu urusan perpindahan barang (kirim, simpan, antar), sementara supply chain mencakup keseluruhan proses dari produksi sampai barang sampai ke tangan pembeli. KiriminAja fokus bantu kamu di sisi logistik, jadi kamu bisa lebih fokus ke produksi dan pemasaran.
Kalau penjualan sudah mulai stabil, coba pertimbangkan:
Dan jangan lupa, semua ini bisa berjalan lebih smooth kalau pengirimanmu rapi dan terjadwal. Coba deh daftar dan kirim barangmu via KiriminAja sekarang, tinggal klik di sini, dan sistemnya akan bantu kamu atur semuanya dari satu dashboard.
Bisnis baju thrift itu bukan cuma soal jual barang bekas. Tapi tentang memberi hidup baru pada barang lama, sambil tetap cuan.
Dengan modal kecil dan strategi yang tepat, kamu bisa mulai hari ini juga. Dan jangan ragu buat serahkan urusan kirim-mengirim ke partner logistik seperti KiriminAja, biar kamu bisa fokus bertumbuh.
Pamungkas
Diposting 1 Agustus 2025
Bisnis
Artikel Terkait
#BantuMenujuLebihMaju
Jadikan pengalaman pengiriman paket lebih mudah dengan aplikasi KiriminAja.
Atau versi Web Dashboard
PT Selalu Siap Solusi
Jl. Palagan Tentara Pelajar No.77, Mudal, Sariharjo, Kec. Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
© 2020 - 2025 PT Selalu Siap Solusi
This site is protected by reCAPTCHA and the Google